Selasa, 03 Maret 2009

Ayam Mati di Lumbung Padi

Agak aneh memang ketika mendengar apa yang dikatakan judul tulisan di atas. Kok ada ayam yang mati kelaparan sementara disekelilingnya tersedia makanan yang melimpah. Tapi inilah realita. Dan tidak sedikit jumlah yang bisa kita ambil sebagai contoh. Di tengah-tengah padi yang melimpah, terbaring ribuan ayam tanpa nyawa dengan perut kosong. Klise, tapi inilah faktanya.

Sebenarnya kita tidak akan berbicara panjang lebar mengenai ayam yang mati. Melalui contoh di atas saya sebenarnya ingin menyampaikan kabar buruk bahwa ada makhluk mulia yang bernama manusia bernasib sama bahkan lebih malang dari pada ayam-ayam di atas. Dan jumlahnya sangat besar. Belum lagi yang akan mati. Mungkin jumlahnya tidak terhitung. Manusia-manusia malang yang membiarkan perutnya kosong lalu mengantarkan mereka kepada kematian. Sementara di bumi yang mereka pijak melimpah kekayaan alam yang kalau dimakan tidak akan habis sampai perut mereka tidak mampu menampunggnya lagi. Bahkan sampai berjuta tahun yang akan datang.

Lho kok ada yang seperti itu??? Bukannya kelaparan sangat identik dengan kemiskinan dan tidak memiliki apa-apa? Seperti di daerah bekas perang yang sumber makanannya ikut binasa bersama ledakan meriam? Atau di tanah tandus yang tidak dialiri air? Tapi kenapa terjadi juga di negeri subur yang kaya raya? Tentunya ada yang salah. Dan pastinya banyak yang harus diperbaiki.

Sebut saja di Indonesia. Siapa yang tidak tahu tentang kekayaan yang dimiliki negeri ini? Kabar tentang kekayaan bumi Indonesia bahkan terdengar sampai jutaan kilometer jaraknya. Ini yang menyebabkan Orang – orang kulit putih rela menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk datang ke Indonesia untuk membawa “sedikit” kekayaan negeri ini ke kampung halaman mereka. Ini berlangsung ratusan tahun. Kekayaan Indonesia tidak kunjung habis sampai orang-orang di Eropah sana sudah kenyang dan tidak bisa menampung lagi. Lalu gantian datang bangsa kulit kuning melakukan hal yang sama sampai mereka pun kenyang dan kaya. Sementara Bangsa Indonesia sendiri tetap miskin dan kelaparan tak tahu apa yang akan dimakan.

Masalah kemiskinan dan kelaparan seakan tidak mau beranjak dari Indinoesia. Dari mulai sebelum penjajah masuk, lalu bergantian penjajah masuk mencuri dan menindas, sampai bangsa ini meredeka, puluhan tahun beranjak dan lahir reformasi yang katanya mengusung cita-cita perbaikan bangsa, sampai sepuluh tahun setelah itupun bangsa ini tetap malang. Kemiskinan dan kelaparan tidak juga beranjak. Bahkan keadaannya semakin parah di beberapa daerah.

Selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun sudah tentu banyak sekali usaha dan perjuangan yang dilakukan bangsa ini untuk memperbaiki nasibnya. Namun kemiskinan dan kelaparan tetap saja ada. Miskin di tengah-tengah harta yang melimpah, lapar di tengah makanan yang meruah.

Saya jadi berpikir ulang, mengapa kemiskinan dan kelaparan tidak bisa diberantas? Kita seakan berhadapan dengan tembok besar yang tidak bisa dilewati ketika berusaha memberantas kemiskinan dan kelaparan. Seakan melawan kodrat yang mustahil dimenangkan. Berarti bukan kemiskinan dan kelaparannya yang salah.

Kemiskinan dan kelaparan adalah kodrat yang diciptakan Allah sebagai penyeimbang dunia bagi lawan-lawannya. Karena memang Allah menciptakan segala sesuatunya berpasangan. Tak ada kaya tanpa kemiskinan. Tak ada kemakmuran tanpa adanya yang lapar. Sebut saja sebagai perbandingan.

Namun, tentunya Allah tida menciptakan segala sesuatunya dengan sia-sia. Sudah pasti ada banyak tujuan yang bernilai tinggi dibalik semuanya. Walaupun sebagian dari tujuan itu masih menjadi rahasia. Akan tetapi, saya fikir bahwa dari sinilah awal kehidupan manusia yang harmonis dan penuh persaudaraan.

Bagaimana tidak, setelah menjadikan kemiskinan dan kelaparan sebagai kodrat, Allah mengarunai manusia dengan hati yang lembut dan mudah tersentuh. Hati yang pedih ketika melihat kemiskinan dan kelaparan di sekelilingnya. Sehingga tergerak orang-orang yang mampu untuk membantu saudaranya yan tidak mampu. Disinilah letak indahnya persaudaraan antar kelas. Bukan persamaan kelas yang dicita-citakan kaum komunis-sosialis.

Kembali lagi ke cerita di atas. Persaudaraan antar kelas seharusnya menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di setiap sudut negeri ini. Seharusnya tidak ada yang membiarkan saudaranya kelaparan sementara ia diberi kekayaan dari negeri yang sangat subur ini. Tidak ada lagi yang berceloteh tentang kelaparan di meja makan. Tidak ada lagi bayi yang menangis sambil menetek. Di papua sana. Berapa kekayaan dari bumi itu dimiliki orang-orang yang tidak mau membagi dan berbagi kepada anak-anak yang untuk makan harus merebus ubi dulu.

Bumi Indonesia yang kaya ini, sudah menjadi keharusan kemiskinan untuk selalu ada karena itu kodrat. Tetapi bangsa ini tidak akan kelaparan jika mereka selalu berbagi dengan saudaranya. Kalu sudah begini, jangankan manusia, ayampun tidak akan mati karena lapar. Jdi sekali lagi, bukan kemiskinan yang salah, tetapi kepedulian dan persaudaraan kita yang harus dipertanyakan.

Senin, 02 Maret 2009

TOTAL DEMOKRASI

Inilah puncak dari semangat berdemokrasi di negeri ini. Setelah terkungkung dalam sebuah rezim yang mengekang kebebasan, Indonesia sekarang telah berubah menjadi negara total demokrasi. Selayaknya total football dalam dunia sepak bola yang memberikan hak yang sama kepada semua pemain untuk melakoni peran sesuai keinginan dan kemampuan masing-masing. Total demokrasi di Indonesia juga memberikan kebebasan bagi seuruh rakyatnya untuk melakoni peran hidup bernegara tanpa ada kekangan dan paksaan dari pemerintah.
Hanya saja bedanya, di dalam total football para pemain masih mempunyai semangat yang sama untuk menjaga pertahanan dari serangan lawan dan sama-sama berusaha meraih kemenangan dengan scenario yang didominasi kerjasama yang apik. Namun, lain halnya dengan total demokrasi yang di mainkan di negara kita, semua pihak sangat bersemangat melakukan apa yang dianggapnya baik namun tidak ada pola kerja sama yang apik. Semua jadi lupa kalau ternyata pertahanan kendur dan penyerangan tumpul.

Sebuah momen yang dengan jelas meggambarkan kepada kita semua tentang total demokrasi ini adalah Pemilu legislative dan pemilu presiden yang akan diselenggarankan beriringan dalam beberapa bulan ke depan. Seakan kedua momen ini adalah sebuah kejadian paling penting dalam sejarah bangsa, pemerintah tidak sungkan-sungkan menggelontorkan dana yang luar biasa banyaknya agar kedua hajat ini terselenggara. Tidak hanya pemerintah, ribuan peserta yang layak disebut even ini juga ikut menghabiskan uang agar tujuannya tercapai. Apakah itu untuk iklan, spanduk, sumbangan, ataupun biaya lainnya yang diperlukan.

Saya tidak bisa menghitung secara pasti berapa total pengeluaran pemerintah dan peserta pemilu untuk hajat ini. Tapi yang jelas, saya yakin dana sebanyak ini sangat cukup untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran. Tentunya dengan pengalihan dana dan perencanaan pelaksanaan yang matang.

Jika saya ibaratkan Indonesia ini adalah sebuah tim sepak bola. Maka saya ingin mengatakan bahwa tim ini adalah sebuah tim miskin yang boros, tak mampu mencetak gol dan selalu kebobolan dalam setiap pertandingan, tidak kompak, rapuh, semua pemain ingin menjadi striker, penyerang tak mampu menyarangkan bola ke gawang lawan, pemin belakang kerap membuat blunder bahkan gol bunuh diri, dan yang paling parah tim ini terancap bangkrut. Para suporter setianya sangat memimpikan sentuhan dingin seorang pelatih yang berhasil membangun mental juara dalam diri pemain-pemainnya. Sampai semua pemain kompak dengan pola serangan dan pola pertahanan yang sama baiknya. Setelah itu irama permainan mulai jelas dan teratur dengan grafik naik. Akhirnya kemenangan demi kemenanganpun diraih. Penonton senang dan tim ini pun bangkit dari keterpurukannya.

Kembali ke konteks negara, total demokrasi ini sungguh telah menimbulkan banyak kebingungan dan sangat berantakan. Betul bahwa urusah ideology dan sistem tata negara adalah pilihan bangsa ini melalui wakil-wakil rajyat yang berwenang di DPR dan Pemerintahan. Namun kita belum terlambat untuk merubah sistem ini menjadi lebih baik. Negeri ini punya sejarah panjang dan sering jatuh bangun. Makanya sebuah perubahan bukan menjadi suatu yang haram untuk diperbuat.

Tahun 2004 lalu, Indonesia mendapat penghargaan dan pujian sebagai negara yang sangat demokratis. Ini karena dianggap telah sukses menyelenggarakan pemilu secara langsung. Baik itu pemilu legislative maupun pemilu presiden. Namun pujian dan penghargaan itu telah membuat Negara ini melambung tinggi karena tersanjung. Ia terbang menandingi tingginya awan sehingga lupa akan tanah tempat berpijak. Semua orang ingin terlibat dalam euphoria ber demo-crazy. Dan seakan pemilu di tahun 2004 adalah paling hebat karena dianggap paling demokratis, sistem yang nyaris sama dipakai mentah-mentah di tahun 2009 ini tanpa saringan dan evaluasi sedikitpun.

Biaya yang sangat mahal untuk sebuah pesta demokrasi. Sangat disesalkan kalau biaya itu pada akhirnya cuma menghasilkan produk gagal. Bukannya pesimistis, namun berkacalah pada 2004. pesta total demokrasi 5 tahun yang lalu telah membuka celah selebar-lebarnya bagi semua oarang untuk maju ke depan menjadi wakil rakyat. Sehingga rampok, bandit, dan tukang cabul sekalipun bisa berkantor di senayan. Sungguh proses eleksi yang tidak selektif. Kembali ke lapangan hijau, di tahun 2004 ketika pluit kick-off dibunyikan wasit. Semua yang ada dilapangan dan sekitarnya, baik itu pemain, wasit, hakim garis, wartawan, bahkan penonton berlari ke tengah lapangan mengejar bola. Mereka semua ingin mendapatkan bola lalu mencetak gol. Terserah gawangnya dimana yang penting gol. Mau gol bunuh diri pun tidak peduli. Sampai bola akhirnya ditendang jauh menuju langit dan tak kembali lagi. Semua kecewa. Lapangan hancur namun tidak ada satupun yang menang. Sama dengan orang sombong pergi naik haji. Duit habis yang didapat Cuma sorban dan baju gamis. Atau, lebih tepat lagi sebuah pepatah minang yang mengatakan “ Capek-capek ke sawah, badan letih padi dimakan wereng “. Mengenaskan!!!

Sabtu, 28 Februari 2009

Pendidikan Politik yang Setengah Gagal

Setelah saya mencoba menyelami keadaan sosial-politik di negara kita saat ini, saya semakin tenggelam dalam lautan pertanyaan. Dan akhirnya saya terbentur pada satu tembok kata : Bingung! Ya, mungkin itu juga yang terjadi pada diri jutaan rakyat Indonesia saat sekarang ini. Menjelang pemilu legislative dan pemilu presiden, setiap hari rakyat disuguhi sesuatu yang membuatnya bertambah bingung. Bagaimana tidak, ribuan calog anggota DPRD dan DPR bersama partai pengusungnya ditambah Tokoh tokoh yang berkemungkinan maju dalam pertarungan dalam bursa calon presiden tidak henti-hentinya meraih hati rakyat dengan cara masing-masing. Apakah itu dengan iklan, spanduk, baliho, maupun dalam pertemuan langsung dengan masyarakat.

Yang paling membuat bingung adalah tayangan di televisi. Mulai dari iklan partai dan tokoh yang menyatakan merekalah yang paling baik. Sampai dari tayangan yang saling mejatuhkan satu sama lain. Mungkin maksudnya adalah memberikan pendidikan politik bagi rakyat agar tidak salah memilih. Namun saya menilai pendidikan politk ini setengah gagal. Karena tidak memiliki batasan yang jelas sehingga membiarkan rakyat bertanya-tanya dan menduga-duga tanpa ada jawaban yang pasti.

Contohnya saja, suatu hari ada tayangan yang menyatakan suatu partai bersama tokoh sentralnya telah berhasil mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan. Pernyataan mereka disertai dengan data yang dianggap terpercaya. Namun di hari berikutnya adalagi tayangan dari pihak lain yang membantah data tersebut. Bahkan mereka menyuguhkan data yang kontradiktif yang menyatakan kemiskinan dan pengangguran bertambah serta tingkat kesejahteraan menurun. Terlepas dari siapa dan pihak mana yang benar, hal ini jelas telah meninggalkan kebingungan yang semakin menjadi-jadi.

Timbul pertanyaan, apakah sekarang data-data sudah keluar dari lingkaran fakta? Ataukah karena kelincahan dan kemahiran berkata-kata yang telah mengubah kebenaran menjadi semu dan maya?

Peranan Lembaga Survey
Sebenarnya ada harapan yang datang dari lembaga survey untuk mengahapus kebingungan. Institusi yang menggunakan metode ilmiah dalam memperoleh data. Data yang diharapkan bisa memberikan pendidikan politik dan pencerahan bagi masyarakat. Tentunya dengan mempublikasikan data-data yang diperoleh sehingga dapat diketahui oleh banyak orang.

Namun ternyata harapan ini belum terealisasi. Begitu banyak lembaga survey yang ada hanya melakukan kegiatannya untuk kepentingan partai atau tokoh tertentu. Bukan masalah independensi lembaga survey. Walaupun semua lembaga survey tidak dipesan oleh partai dan tokoh tertentu. Tetapi hasil survey yang dipublikasikan tetap saja hanya untuk kepentingan tokoh dan partai. Bukan untuk rakyat.

Lihat saja, di media-media cetak dan elektronik selalu yang dipublikasikan adalah persentase dukungan masyarakat terhadap partai dan tokoh tertentu. Data yang disajikan tidak lebih dari alat bantu bagi semua partai dan tokoh untuk mengukur peluang masing-masing untuk memenangi pemilu. Bagi partai dan tokoh yang mendapat dukungan paling tinggi, bagaimana mereka melakukan usaha untuk mengamankan posisi dan menjaga jarak dengan pesaing lainnya. Bagi yang memperoleh dukungan di bawah, bagaimana mereka melakukan usaha-usaha untuk mendongkrak perolehan dukungan sehingga target bisa dicapai. Hanya itu-itu saja. Tidak lebih.

Sebenarnya kalau saja ada sebuah lembaga survey yang menanggalkan semangat untuk mencari keuntungan pribadi semata, dan berubah menjadi lebih memperhatikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Kalau selama ini yang menjadi populasi seurvey adalah seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih, dan sampelnya adalah sekian persen dari populasi yang dibagi secara proporsional menurut ilmu yang diyakini masing-masing lembaga survey. Sekarang, Populasinya adalah seluruh partai dan calon legislator dan tokoh yang berkemungkinan maju sebagai calon presiden, dan sampelnya dibagi menurut ilmu yang diyakini. Kemudian, dari hasil survey akan keluar data-data yang akan sangat berarti bagi masyarakat.. Misalnya data tentang tingkat pengetahuan dan kepedulian para tokoh. Paling tidak membantu masyarakat dalam menentukan pilihan yang benar. Semoga saja ada Lembaga Survey yang mau melakukannya.

Berkaca pada Pemilu BEM di FH UI
Fenomena di atas baru sebagian kecil dari kebingungan yang terjadi pada masyarakat pra-pemilu. Belum termasuk jika kita beranjak kepada teknis pelaksanaan pemilu 9 April mendatang. Sama-sama kita ketahui kalau pemilu ini tidak memakai cara mencoblos lagi, namun dengan mencontreng. Tapi ternyata mencontreng tidak seenteng bunyi katanya. Satu hal yang pasti adalah cara ini baru pertama kali diterapkan. Sesuatu yang baru sulit dipisahkan dari berbagai macam masalah. Hal ini bisa saja karena banyak yang belum tahu caranya. Atau ada yang sudah tahu tapi belum biasa. Untuk memberitahu dan membiasakan calon pemilih tentunya dibutuhkan sosialisasi yang maksimal dan simulasi untuk menghindari kesalahan dan untuk meminimalisir jumlah suara tidak sah.

Di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, cara mencontreng ini telah dipakai dalam Pemilu BEM yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Dengan begini FH UI-lah yang menerapkan cara ini untuk pertama kalinya. Kalaupun ternyata ada yang lebih dulu, paling tidak FH UI lebih dulu menerapkannya daripada Pemilu di Indonesia. Ini sesuatu yang progressive. Namun masalah sebenarnya bukan terletak pada siapa yang dulu dan siapa yang didului. Ada sedikit pelajaran yang dapat dipetik dari pesta demokrasi terbesar di kampus yang telah banyak melahirkan kaum intelektual ini.

Pada penghitungan suara yang dilakukan Jum’at, 27 Februari lalu, diketahui jumlah pemilih mencapai 856 orang (ini jumlah terbanyak sepanjang sejarah pemilihan di kampus ini). Calon nomor 1 memperoleh 273 suara, nomor 2 memperoleh 328 , dan calon nomor 3 memperoleh 185 suara. Dan jumlah suara tidak sah 70 suara. Yang perlu dilihat adalah bahwa jumlah suara tidak sah mencapai 70 suara. Secara matematis suara sebanyak ini bisa membalikkan keadaan jika saja sah dan ternyata semuanya ditujukan untuk calon nomor 1. Calon ini bisa menang karena suaranya hanya terpaut 55 suara dari pemenang pemilu. Namun, walau bagaimanapun, calon yang menang sekarang telah membuktikan bahwa dirinya yang terbaik dan pantas untuk sebuah kemenangan.

Terlepas dari siapa yang menang dan siapa yang kalah (karena bukan ini poin yang ingin dikupas), suara tidak sah dalam Pemilu BEM FH UI berjumlah 70 dari 856 suara. Ini berarti mencapai 8,18 % dari jumlah pemilih secara keseluruhan. Nah, bagaimana nantinya dengan pemilu 9 April mendatang??? Di FH UI yang skopnya jauh lebih kecil dari Indonesia, sudah dapat dipastikan tingkat masalah yang terjadi juga jauh lebih rendah. Dengan kata lain Pemilu di Indonesia mempunyai masalah yang jauh lebih kompleks. Jika dimasukkan unsur tingkat pendidikan yang mewakili kemampuan menerapkan suatu cara, tentunya Mahasiswa FH UI lebih tinggi dari pada rata-rata masyarakat Indonesia. Belum lagi perbandingan jumlah pemilih dan lain-lainnya. Analoginya, jika di FH UI jumlah suara tidak sah mencapai 8,7 %, maka sangat mungkin pada Pemilu legislative nanti suara tidak sah mencapai di atas 10 %. Jika jumlah pemilih ada 169.835.071 juta orang (DPT sementara yang dikeluarkan KPU tanggal 18 Oktober 2008), maka 10 % nya adalah 16,98 juta. Apakah jumlah segitu tidak ada artinya bagi seorang calon atau partai?

Ini cuma analisa kasar yang mungkin saja salah karena tidak menggunakan metode ilmiah. Namun inilah pengalaman yang menyisakan pembelajaran. KPU harus ekstra keras melakukan sosialisasi dan simulasi. Dibantu oleh partai, calon, dan masyarakat tentunya. Sebelum semuanya terlambat. Dan pada akhirnya, kita patut berterima kasih kepada FH UI, mahasiswanya, dan penyelenggara Pemilu BEM yang telah memberikan sedikit pembelajaran. Tak lupa ucapan teri kasih dan bangga kepada sahabat saya Rian Alvin yang telah sukses menyelenggarakan pemilu BEM di FH UI. Terus berkarya.

HAM Sekalipun Punya Batas

Setiap aksi demonstrasi yang terjadi di negeri ini sudah pasti berangkat dari hak dan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pendapat yang dimiliki oleh setiap warga negara. Hal ini dijamin dan dilindungi oleh konstitusi kita. Namun, bagaimana dengan demonstrasi yang menimbulkan perkelahian, kematian, atau kerugian lainnya? Apakah hal semacam ini juga dijamin dan dilindungi oleh hukum?

Hak mengeluarkan pendapat adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Di Indonesia, yang merupakan negara hukum, jaminan perlindungan terhadap HAM adalah suatu keharusan. Maka dari itu, tak ada larangan bagi seseorang untuk menyampaikan pendapatnya. Namun demikian, tentunya HAM untuk mengeluarkan pendapat ini terbatas danidak absolute.

Kematian Ketua DPRD Sumatera Utara dalam sebuah aksi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini telah memberikan pandangan kepada kita bahwasanya masih banyak msyarakat Indonesia yang arti dan batasan dari HAM yang dimilikinya.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, HAM seseorang tidak berdiri lepas sendiri-sendiri. Ia berada dalam satu sistem dam susunan yang tidak terlepaskan bersama HAM orang lain. Masing-masing dari HAM tersebut dihubungkan satu sama lain. Seperti tata surya, HAM masing-masing orang diberi tempat melakukan rotasi pada sumbu masing-masing. Dan juga mempunyai orbit lintasan sendiri-sendiri. Ini akan menciptakan keteraturan dan kedamaian. Hukum dan sikap saling menghargai adalah Matahari sebagai pennyeimbang agar HAM tidak saling bertabrakan satau sama lain. Namun demikian, diantara HAM yang satu dengan yang lainnya juga mempunyai fungsi saling melengkapi dan saling menguatkan keberadaannya. Jika salah satu cidera atau rusak, maka hal ini akan membuat sistem yang ada menjadi goyang dan tidak seimbang.

HAM orang lain adalah batasan dari HAM kita. Di daerah perbatasan inilah terjadinya perdamaian yang didahului oleh sikap saling menghargai dan saling memaklumi. Jika salah satu pihak telah melanggar rambu-rambu perdamaian, maka terjadilah konflik. Dan setelah itu konflik baru lahir lagi karena orang yang dirugikan tadi juga merugikan orang lain dalam memperjuangkan haknya. Begitu seterusnya sampai akhirnya susunan dalam sistem tata HAM menjadi tidak seimbang dan rusak. Masing-masing telah keluar dari orbit lintasannya dan tidak lagi berputar pada sumbu yang telah disediakan shingga bertabrakan satu sama lain dan saling menghancurkan.. Yang lebih parah lagi, hukum beserta penegaknya tidak mampu lagi menjaga keseimbangan sistem. Kalau sudah begini, apakah sudah terjadi kiamat? Kalau seandainya belum, darimanakah perbaikan harus dimulai?

Bukan Kekalahan

Kemenangan sejati adalah ketika kita berjiwa besar dalam menerima kekalahan.


Kompetisi atau pertarungan sudah berakhir. Seseorang telah lahir sebagai pemenang. Sisanya tentu berada di pihak yang kalah. Tidak jarang pada akhir sebuah kompetisi melahirkan konflik lanjutan antara si pemenang dengan yang kalah. Bisa jadi si pemenang terlalu sombong dengan kemengannya walaupun itu hanya sebuah keberuntungan saja. Atau sebaliknya, si kalah menyimpan dendam dengan alasan si pemenang bermain curang, menusuk dari belakang, atau merasa dikhianati. Tapi ada juga yang berjiwa besar. Si pemenang tetap rendah hati dan tidak memandang kecil posisi pesaingnya dulu. Atau si kalah menerima kekalahan dengan lapang dada sambil berkata “ini hanya sebuah kompetisi, kalah menang itu biasa”. Atau berkata “saya tidak kalah, namun kemenangan saja yang belum berpihak, mungkin lain kali”. Atau lagi ada yang berucap dengan sedikit bangga, “kekalahan adah kemenangan yang tertunda”.


Saya jadi ingat perkataan seorang pelatih sepak bola kenamaan dunia setelah tim yang diasuhnya memenangi pertandingan penting, “ Tim lawan bermain bagus, kemenangan yang kami peroleh hanya keberuntungan karena mereka tak mampu menyarangkan gol ke gawang kami ”. Mendengar perkataan tersebut saya sebagai seorang penonton tersugesti untuk menganggap tim yang kalah sebagai sebuah tim yang hebat walaupun saat itu mereka kalah 0-5. Dan sikap rendah hati sang pelatih telah membuat saya memandang Tim yang menang telah memperoleh kemenangan ganda. Pertama dia jelas telah memenangkan sebuah pertandingan. Kedua, ia telah menang melawan kesombongan sehingga tidak memandang rendah pesaingnya yang kalah.


Dalam ruang hati saya yang paling rahasia-sekarang tidak rahasia lagi karena sudah dibuka ke ruang public- saya sangat iri dengan mereka yang kalah dalam sebuah kompetisi. Dengan sudut pandangan seorang penonton, saya menilai mereka adalah sang pemberani. Mereka berani berkompetisi dalam memperebutkan sesuatu. Keberanian yang timbul pada diri orang-orang terpilih, tidak pada semua orang. Menang atau kalah bagi saya mereka tetap saja pemberani, tidak berubah sama sekali. Satu hal yang paling membuat saya iri adalah mereka diberi kesempatan untuk belajar dari sebuah kekalahan. Sebuah pelajaran yang tidak akan didapatkan oleh yang menang, apalagi buat saya yang hanya menonton saja.


Bagi seorang pemenang, tentu banyak ucapan selamat tertuju untuknya. Entah itu dari pendukung setia, teman, keluarga, bahkan dari pihak lawan. Namun tidak satupun ucapan selamat untuk yang kalah. Maka dari itu, si kalah harus menyelamatkan sendiri hati dan perasaannya dari kehancuran dan kekecewaan yang berlebihan. Dia harus bangkit dari kekerdilan jiwa yang tidak mau menerima kekalahan. Dan dia harus berusaha untuk ikhlas diungguli pihak lawan. Dengan begitu, dia akan dipandang sebagai pemenang sejati dan berucap, “Kompetisi boleh kalah, tapi hati saya tetap menang!!!”.


Kemenangan hati seorang yang kalah telah membuka harapan baru di masa depan. Muncul kesadaran bahwa semua peristiwa di dunia ini tidak pernah berhenti di satu titik saja. Kekalahan hanya sebuah persinggahan tempat berhenti melepas lelah. Setelah tenaga pulih perjuangan dilanjutkan karena perjalanan masih panjang. Ketika bangkit untuk melanjutkan perjalanan, saat itulah ia meninggalkan kekalahan yang baru saja didapat. Ia tampil kembali sebagai competitor dan calon pemenang yang baru. Tentunya dengan semangat dan senyuman yang baru .


kawan terdekat adalah lawan yang paling sengit”