Inilah puncak dari semangat berdemokrasi di negeri ini. Setelah terkungkung dalam sebuah rezim yang mengekang kebebasan, Indonesia sekarang telah berubah menjadi negara total demokrasi. Selayaknya total football dalam dunia sepak bola yang memberikan hak yang sama kepada semua pemain untuk melakoni peran sesuai keinginan dan kemampuan masing-masing. Total demokrasi di Indonesia juga memberikan kebebasan bagi seuruh rakyatnya untuk melakoni peran hidup bernegara tanpa ada kekangan dan paksaan dari pemerintah.
Hanya saja bedanya, di dalam total football para pemain masih mempunyai semangat yang sama untuk menjaga pertahanan dari serangan lawan dan sama-sama berusaha meraih kemenangan dengan scenario yang didominasi kerjasama yang apik. Namun, lain halnya dengan total demokrasi yang di mainkan di negara kita, semua pihak sangat bersemangat melakukan apa yang dianggapnya baik namun tidak ada pola kerja sama yang apik. Semua jadi lupa kalau ternyata pertahanan kendur dan penyerangan tumpul.
Sebuah momen yang dengan jelas meggambarkan kepada kita semua tentang total demokrasi ini adalah Pemilu legislative dan pemilu presiden yang akan diselenggarankan beriringan dalam beberapa bulan ke depan. Seakan kedua momen ini adalah sebuah kejadian paling penting dalam sejarah bangsa, pemerintah tidak sungkan-sungkan menggelontorkan dana yang luar biasa banyaknya agar kedua hajat ini terselenggara. Tidak hanya pemerintah, ribuan peserta yang layak disebut even ini juga ikut menghabiskan uang agar tujuannya tercapai. Apakah itu untuk iklan, spanduk, sumbangan, ataupun biaya lainnya yang diperlukan.
Saya tidak bisa menghitung secara pasti berapa total pengeluaran pemerintah dan peserta pemilu untuk hajat ini. Tapi yang jelas, saya yakin dana sebanyak ini sangat cukup untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran. Tentunya dengan pengalihan dana dan perencanaan pelaksanaan yang matang.
Jika saya ibaratkan Indonesia ini adalah sebuah tim sepak bola. Maka saya ingin mengatakan bahwa tim ini adalah sebuah tim miskin yang boros, tak mampu mencetak gol dan selalu kebobolan dalam setiap pertandingan, tidak kompak, rapuh, semua pemain ingin menjadi striker, penyerang tak mampu menyarangkan bola ke gawang lawan, pemin belakang kerap membuat blunder bahkan gol bunuh diri, dan yang paling parah tim ini terancap bangkrut. Para suporter setianya sangat memimpikan sentuhan dingin seorang pelatih yang berhasil membangun mental juara dalam diri pemain-pemainnya. Sampai semua pemain kompak dengan pola serangan dan pola pertahanan yang sama baiknya. Setelah itu irama permainan mulai jelas dan teratur dengan grafik naik. Akhirnya kemenangan demi kemenanganpun diraih. Penonton senang dan tim ini pun bangkit dari keterpurukannya.
Kembali ke konteks negara, total demokrasi ini sungguh telah menimbulkan banyak kebingungan dan sangat berantakan. Betul bahwa urusah ideology dan sistem tata negara adalah pilihan bangsa ini melalui wakil-wakil rajyat yang berwenang di DPR dan Pemerintahan. Namun kita belum terlambat untuk merubah sistem ini menjadi lebih baik. Negeri ini punya sejarah panjang dan sering jatuh bangun. Makanya sebuah perubahan bukan menjadi suatu yang haram untuk diperbuat.
Tahun 2004 lalu, Indonesia mendapat penghargaan dan pujian sebagai negara yang sangat demokratis. Ini karena dianggap telah sukses menyelenggarakan pemilu secara langsung. Baik itu pemilu legislative maupun pemilu presiden. Namun pujian dan penghargaan itu telah membuat Negara ini melambung tinggi karena tersanjung. Ia terbang menandingi tingginya awan sehingga lupa akan tanah tempat berpijak. Semua orang ingin terlibat dalam euphoria ber demo-crazy. Dan seakan pemilu di tahun 2004 adalah paling hebat karena dianggap paling demokratis, sistem yang nyaris sama dipakai mentah-mentah di tahun 2009 ini tanpa saringan dan evaluasi sedikitpun.
Biaya yang sangat mahal untuk sebuah pesta demokrasi. Sangat disesalkan kalau biaya itu pada akhirnya cuma menghasilkan produk gagal. Bukannya pesimistis, namun berkacalah pada 2004. pesta total demokrasi 5 tahun yang lalu telah membuka celah selebar-lebarnya bagi semua oarang untuk maju ke depan menjadi wakil rakyat. Sehingga rampok, bandit, dan tukang cabul sekalipun bisa berkantor di senayan. Sungguh proses eleksi yang tidak selektif. Kembali ke lapangan hijau, di tahun 2004 ketika pluit kick-off dibunyikan wasit. Semua yang ada dilapangan dan sekitarnya, baik itu pemain, wasit, hakim garis, wartawan, bahkan penonton berlari ke tengah lapangan mengejar bola. Mereka semua ingin mendapatkan bola lalu mencetak gol. Terserah gawangnya dimana yang penting gol. Mau gol bunuh diri pun tidak peduli. Sampai bola akhirnya ditendang jauh menuju langit dan tak kembali lagi. Semua kecewa. Lapangan hancur namun tidak ada satupun yang menang. Sama dengan orang sombong pergi naik haji. Duit habis yang didapat Cuma sorban dan baju gamis. Atau, lebih tepat lagi sebuah pepatah minang yang mengatakan “ Capek-capek ke sawah, badan letih padi dimakan wereng “. Mengenaskan!!!
Senin, 02 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
🖒
BalasHapus