Selasa, 03 Maret 2009

Ayam Mati di Lumbung Padi

Agak aneh memang ketika mendengar apa yang dikatakan judul tulisan di atas. Kok ada ayam yang mati kelaparan sementara disekelilingnya tersedia makanan yang melimpah. Tapi inilah realita. Dan tidak sedikit jumlah yang bisa kita ambil sebagai contoh. Di tengah-tengah padi yang melimpah, terbaring ribuan ayam tanpa nyawa dengan perut kosong. Klise, tapi inilah faktanya.

Sebenarnya kita tidak akan berbicara panjang lebar mengenai ayam yang mati. Melalui contoh di atas saya sebenarnya ingin menyampaikan kabar buruk bahwa ada makhluk mulia yang bernama manusia bernasib sama bahkan lebih malang dari pada ayam-ayam di atas. Dan jumlahnya sangat besar. Belum lagi yang akan mati. Mungkin jumlahnya tidak terhitung. Manusia-manusia malang yang membiarkan perutnya kosong lalu mengantarkan mereka kepada kematian. Sementara di bumi yang mereka pijak melimpah kekayaan alam yang kalau dimakan tidak akan habis sampai perut mereka tidak mampu menampunggnya lagi. Bahkan sampai berjuta tahun yang akan datang.

Lho kok ada yang seperti itu??? Bukannya kelaparan sangat identik dengan kemiskinan dan tidak memiliki apa-apa? Seperti di daerah bekas perang yang sumber makanannya ikut binasa bersama ledakan meriam? Atau di tanah tandus yang tidak dialiri air? Tapi kenapa terjadi juga di negeri subur yang kaya raya? Tentunya ada yang salah. Dan pastinya banyak yang harus diperbaiki.

Sebut saja di Indonesia. Siapa yang tidak tahu tentang kekayaan yang dimiliki negeri ini? Kabar tentang kekayaan bumi Indonesia bahkan terdengar sampai jutaan kilometer jaraknya. Ini yang menyebabkan Orang – orang kulit putih rela menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk datang ke Indonesia untuk membawa “sedikit” kekayaan negeri ini ke kampung halaman mereka. Ini berlangsung ratusan tahun. Kekayaan Indonesia tidak kunjung habis sampai orang-orang di Eropah sana sudah kenyang dan tidak bisa menampung lagi. Lalu gantian datang bangsa kulit kuning melakukan hal yang sama sampai mereka pun kenyang dan kaya. Sementara Bangsa Indonesia sendiri tetap miskin dan kelaparan tak tahu apa yang akan dimakan.

Masalah kemiskinan dan kelaparan seakan tidak mau beranjak dari Indinoesia. Dari mulai sebelum penjajah masuk, lalu bergantian penjajah masuk mencuri dan menindas, sampai bangsa ini meredeka, puluhan tahun beranjak dan lahir reformasi yang katanya mengusung cita-cita perbaikan bangsa, sampai sepuluh tahun setelah itupun bangsa ini tetap malang. Kemiskinan dan kelaparan tidak juga beranjak. Bahkan keadaannya semakin parah di beberapa daerah.

Selama ratusan tahun bahkan ribuan tahun sudah tentu banyak sekali usaha dan perjuangan yang dilakukan bangsa ini untuk memperbaiki nasibnya. Namun kemiskinan dan kelaparan tetap saja ada. Miskin di tengah-tengah harta yang melimpah, lapar di tengah makanan yang meruah.

Saya jadi berpikir ulang, mengapa kemiskinan dan kelaparan tidak bisa diberantas? Kita seakan berhadapan dengan tembok besar yang tidak bisa dilewati ketika berusaha memberantas kemiskinan dan kelaparan. Seakan melawan kodrat yang mustahil dimenangkan. Berarti bukan kemiskinan dan kelaparannya yang salah.

Kemiskinan dan kelaparan adalah kodrat yang diciptakan Allah sebagai penyeimbang dunia bagi lawan-lawannya. Karena memang Allah menciptakan segala sesuatunya berpasangan. Tak ada kaya tanpa kemiskinan. Tak ada kemakmuran tanpa adanya yang lapar. Sebut saja sebagai perbandingan.

Namun, tentunya Allah tida menciptakan segala sesuatunya dengan sia-sia. Sudah pasti ada banyak tujuan yang bernilai tinggi dibalik semuanya. Walaupun sebagian dari tujuan itu masih menjadi rahasia. Akan tetapi, saya fikir bahwa dari sinilah awal kehidupan manusia yang harmonis dan penuh persaudaraan.

Bagaimana tidak, setelah menjadikan kemiskinan dan kelaparan sebagai kodrat, Allah mengarunai manusia dengan hati yang lembut dan mudah tersentuh. Hati yang pedih ketika melihat kemiskinan dan kelaparan di sekelilingnya. Sehingga tergerak orang-orang yang mampu untuk membantu saudaranya yan tidak mampu. Disinilah letak indahnya persaudaraan antar kelas. Bukan persamaan kelas yang dicita-citakan kaum komunis-sosialis.

Kembali lagi ke cerita di atas. Persaudaraan antar kelas seharusnya menjadi pemandangan yang tidak asing lagi di setiap sudut negeri ini. Seharusnya tidak ada yang membiarkan saudaranya kelaparan sementara ia diberi kekayaan dari negeri yang sangat subur ini. Tidak ada lagi yang berceloteh tentang kelaparan di meja makan. Tidak ada lagi bayi yang menangis sambil menetek. Di papua sana. Berapa kekayaan dari bumi itu dimiliki orang-orang yang tidak mau membagi dan berbagi kepada anak-anak yang untuk makan harus merebus ubi dulu.

Bumi Indonesia yang kaya ini, sudah menjadi keharusan kemiskinan untuk selalu ada karena itu kodrat. Tetapi bangsa ini tidak akan kelaparan jika mereka selalu berbagi dengan saudaranya. Kalu sudah begini, jangankan manusia, ayampun tidak akan mati karena lapar. Jdi sekali lagi, bukan kemiskinan yang salah, tetapi kepedulian dan persaudaraan kita yang harus dipertanyakan.

Senin, 02 Maret 2009

TOTAL DEMOKRASI

Inilah puncak dari semangat berdemokrasi di negeri ini. Setelah terkungkung dalam sebuah rezim yang mengekang kebebasan, Indonesia sekarang telah berubah menjadi negara total demokrasi. Selayaknya total football dalam dunia sepak bola yang memberikan hak yang sama kepada semua pemain untuk melakoni peran sesuai keinginan dan kemampuan masing-masing. Total demokrasi di Indonesia juga memberikan kebebasan bagi seuruh rakyatnya untuk melakoni peran hidup bernegara tanpa ada kekangan dan paksaan dari pemerintah.
Hanya saja bedanya, di dalam total football para pemain masih mempunyai semangat yang sama untuk menjaga pertahanan dari serangan lawan dan sama-sama berusaha meraih kemenangan dengan scenario yang didominasi kerjasama yang apik. Namun, lain halnya dengan total demokrasi yang di mainkan di negara kita, semua pihak sangat bersemangat melakukan apa yang dianggapnya baik namun tidak ada pola kerja sama yang apik. Semua jadi lupa kalau ternyata pertahanan kendur dan penyerangan tumpul.

Sebuah momen yang dengan jelas meggambarkan kepada kita semua tentang total demokrasi ini adalah Pemilu legislative dan pemilu presiden yang akan diselenggarankan beriringan dalam beberapa bulan ke depan. Seakan kedua momen ini adalah sebuah kejadian paling penting dalam sejarah bangsa, pemerintah tidak sungkan-sungkan menggelontorkan dana yang luar biasa banyaknya agar kedua hajat ini terselenggara. Tidak hanya pemerintah, ribuan peserta yang layak disebut even ini juga ikut menghabiskan uang agar tujuannya tercapai. Apakah itu untuk iklan, spanduk, sumbangan, ataupun biaya lainnya yang diperlukan.

Saya tidak bisa menghitung secara pasti berapa total pengeluaran pemerintah dan peserta pemilu untuk hajat ini. Tapi yang jelas, saya yakin dana sebanyak ini sangat cukup untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran. Tentunya dengan pengalihan dana dan perencanaan pelaksanaan yang matang.

Jika saya ibaratkan Indonesia ini adalah sebuah tim sepak bola. Maka saya ingin mengatakan bahwa tim ini adalah sebuah tim miskin yang boros, tak mampu mencetak gol dan selalu kebobolan dalam setiap pertandingan, tidak kompak, rapuh, semua pemain ingin menjadi striker, penyerang tak mampu menyarangkan bola ke gawang lawan, pemin belakang kerap membuat blunder bahkan gol bunuh diri, dan yang paling parah tim ini terancap bangkrut. Para suporter setianya sangat memimpikan sentuhan dingin seorang pelatih yang berhasil membangun mental juara dalam diri pemain-pemainnya. Sampai semua pemain kompak dengan pola serangan dan pola pertahanan yang sama baiknya. Setelah itu irama permainan mulai jelas dan teratur dengan grafik naik. Akhirnya kemenangan demi kemenanganpun diraih. Penonton senang dan tim ini pun bangkit dari keterpurukannya.

Kembali ke konteks negara, total demokrasi ini sungguh telah menimbulkan banyak kebingungan dan sangat berantakan. Betul bahwa urusah ideology dan sistem tata negara adalah pilihan bangsa ini melalui wakil-wakil rajyat yang berwenang di DPR dan Pemerintahan. Namun kita belum terlambat untuk merubah sistem ini menjadi lebih baik. Negeri ini punya sejarah panjang dan sering jatuh bangun. Makanya sebuah perubahan bukan menjadi suatu yang haram untuk diperbuat.

Tahun 2004 lalu, Indonesia mendapat penghargaan dan pujian sebagai negara yang sangat demokratis. Ini karena dianggap telah sukses menyelenggarakan pemilu secara langsung. Baik itu pemilu legislative maupun pemilu presiden. Namun pujian dan penghargaan itu telah membuat Negara ini melambung tinggi karena tersanjung. Ia terbang menandingi tingginya awan sehingga lupa akan tanah tempat berpijak. Semua orang ingin terlibat dalam euphoria ber demo-crazy. Dan seakan pemilu di tahun 2004 adalah paling hebat karena dianggap paling demokratis, sistem yang nyaris sama dipakai mentah-mentah di tahun 2009 ini tanpa saringan dan evaluasi sedikitpun.

Biaya yang sangat mahal untuk sebuah pesta demokrasi. Sangat disesalkan kalau biaya itu pada akhirnya cuma menghasilkan produk gagal. Bukannya pesimistis, namun berkacalah pada 2004. pesta total demokrasi 5 tahun yang lalu telah membuka celah selebar-lebarnya bagi semua oarang untuk maju ke depan menjadi wakil rakyat. Sehingga rampok, bandit, dan tukang cabul sekalipun bisa berkantor di senayan. Sungguh proses eleksi yang tidak selektif. Kembali ke lapangan hijau, di tahun 2004 ketika pluit kick-off dibunyikan wasit. Semua yang ada dilapangan dan sekitarnya, baik itu pemain, wasit, hakim garis, wartawan, bahkan penonton berlari ke tengah lapangan mengejar bola. Mereka semua ingin mendapatkan bola lalu mencetak gol. Terserah gawangnya dimana yang penting gol. Mau gol bunuh diri pun tidak peduli. Sampai bola akhirnya ditendang jauh menuju langit dan tak kembali lagi. Semua kecewa. Lapangan hancur namun tidak ada satupun yang menang. Sama dengan orang sombong pergi naik haji. Duit habis yang didapat Cuma sorban dan baju gamis. Atau, lebih tepat lagi sebuah pepatah minang yang mengatakan “ Capek-capek ke sawah, badan letih padi dimakan wereng “. Mengenaskan!!!